APBN dan Politik Ekonomi Makro dalam Krisis dan Transisi Politik
Pendahuluan
Pendahuluan
Sistem Anggaran Belanja Negara (APBN) merupakan salah satu hal yang penting diketahui ,mengingat pembiayaan pembangunan di Indonesia bersumber dari tabungan pemerintah.
Tabungan pemerintah merupakan kelebihan penerimaan dalam negeri dari pengeluaran rutin atau merupakan selisih antara penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran rutin.
Berbicara soal Anggaran Belanja Negara (APBN) ,kita berbicara tentang pemerintah yang harus merupakan daya dorong ekonomi. Pembiayaan pemerintah yaitu dari hasil pajak,mencetak uang,dan utang luar negeri. Apabila utang luar negeri sudah melebihi batas ,maka sangat mengherankan jika ada ekonom-ekonom menganjurkan supaya indonesia menekan perolehan utang luar negeri . Setelah itu dilakukan dengan antisipasi dengan jalan pencetakan uang secara dadakan ketika menggeronjok Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada bank-bank yang sedang bermasalah. Setelah itu terjadilah inflasi yang tinggi sehingga langsung dilarang untuk mencetak uang lagi oleh Dana Moneter Internasional (IMF).
Oleh karena itu ketika pemerintah dalam kebingungan RAPBN 1999-2000 mengasumsikan perolehan pajak akan meningkat tajam ,keputusan tersebut langsung mendapat kritikan dari DPR dan para pakar ekonomi bahwa asumsinya sama sekali tidak realistis.
Maka,pada tulisan ini akan dibahas sedikit mengenai APBN yang berbicara tentang pemerintah yang harus menjadi daya dorong ekonomi Indonesia dalam krisis dan Transisi Politik.
Pembahasan
Pada awalnya terjadi krisis moneter yang dalam keadaan pecah,ada orang yang beranggapan hal tersebut disebabkan oleh underconsumption atau overinvesment . Yang berarti jika penyebabnya underconsumption berhubungan dengan terapi Keynes ,yakni memompa daya beli dapat diterapkan ,tetapi jika penyebabnya overinvesment tidak banyak yang dapat dilakukan pemerintah atau siapapun ,kecuali menunggu sampai tercapai keseimbangan baru pada titik yang terendah.
Untuk menjelaskan masalah ini barhubungan dengan struktur ekonomi dalam aspek perbandingan antara jumlah modal dan jumlah tenaga kerja dari masyarakatnya.
Kalau struktur ekonomi ditandai dengan kelebihan tenaga kerja ketimbang modal yang memadai disebut sebagai struktur kekurangan modal atau capital security.
Sedangkan dalam hal kelebihan modal ,sehingga harus mengekspor modal atau mengimpor tenaga kerja untuk membuat modal produktif,disebut kelebihan modal atau struktur masyarakiatnya capital abudance.
Sejak lama para pakar terkemuka sudah mengenali adanya korelasi antara struktur dan konjungtural. Apabila strukturnya kekurangan modal ,krisis yang terjadi hampir selalu oleh overinvestment. Dalam hal strukturnya kelebihan modal ,krisis selalu oleh underconsumption.
Dalam hal ini yang menjadi permasalahan adalah dalam overinvesment ,dimana daya beli atau uang yang di pompakan tersebut dipertanyakan .
Overinvestment adalah investasi yang keterlaluan besarnya dan dipaksakan dengan pembiayaan dari utang luar negeri ,karena tabungan nasional tidak mencukupi untuk membiayai investasi nasional. Oleh karena itu ,lama kelamaan para pemodal luar negeri dapat berfikiran atau menimbulkan keraguan dengan kemampuan mengembalikannya.
Investasi menyusut tajam ,krisis terjadi dengan segala rangkaiannya. Dalam kondisi seperti ini ,dan gelombang menyusutnya masih berlangsung ditengah krisis yang terjadi ,maka yang dapat diharapkan yaitu modal luar negeri masuk ,yaitu utang oleh pemerintah. Terapi dibatasi menurut kapasitasnya dalam peminjaman dana tersebut.
Apabila telah melampaui titik tertentu ,negara donor juga tidak dapat memberikan utang terus,karena merekapun ragu apakah Indonesia akan dapat mengembalikannya. Apalagi dengan adanya utang luar negeri oleh swasta yang begitu besarnya ,hingga saat ini belum menemukan titik cerahnya dari kejadian tersebut.
Jadi utang luar negeri ,baik oleh pemerintah ataupun swasta tidak mungkin diperbesar hingga jumlah yang dapat meembangkitkan dampak seperti yang digambarkan Keynes.
Adapun menurut Econit yang dimuat di media massa pada tanggal sembilan januari 1999 mengemukakan bahwa “... sebenarnya masih terbuka sangat luas untuk menggali penerimaan lebih besar dari sektor kehutanan dan pertambangan yang selama ini merupakan faktor sangat kaya dan basah”.
Tetapi ada juga yang beranggapan tidak relevan untuk APBN 1999-2000,karena untuk melakukan pembenahan berupa realokasi pendapatan dari sektor sektor ini membutuhkan waktu yang lama,dan juga membutuhkan salto mortal dalam moral dan akhlak yang harusnya menjadi jujur membela kepentingan rakyat ketimbang melakukan rentseeking dari sektor sektor ini.
Sifat Kontraktif dan Ekspansif APBN adalah jika volume APBN menyusut ,sehingga memperparah resesi. Sebenarnya yang relevan adalah selisih antara pengeluaran dan penerimaan ,karena jika pengeluaran lebih besar dari penerimaan atau anggaran defisit sifatnya ekspansif. Maka anggaran yang jumlahnya menyusut bisa bersifat ekspansif jika persaldo yang dikeluarkan pemerintah lebih besar daripada yang diraup pemerintah dari masyarakat.
Pembiayaan bahkan tidak dengan cara menyedot daya beli masyarakat Indonesia ,karena pemerintah memproyeksikan masih dapat utang luar negeri lagi .
Jadi pengeluaran yang lebih besar dari pemasukkan pemerintah tidak di biayai oleh utang kepada bangsa sendiri yang mengakibatkan crowding out ,tetapi dari utang luar negeri yang sangat besar.
Dan sebaliknya ,seandainya Anggaran pembelanjaan Negara secara keseluruhan meningkat dan seimbang (dalam arti universal,bukan yang diartikan oleh ekonom Indonesia) ,biasanya netral karena jumlah uang yang diserap dari masyarakat sama dengan jumlah uang yang dipompakan kedalam masyarakat.
Banyak para ekonom yang mengatakan bahwa anggaran yang meningkat adalah ekspansif ,dan kalau jumlah seluruhnya menyusut kontraktif .
Bahwa jumlah anggaran yang meningkat dan seimbang bisa berarti ekspansif dipengaruhi oleh teori atau pandangan T Haavelmo yang mengatakan ,kalau masyarakat diperas dengan pajak yang naik untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang meningkat ,yang dikorbankan bukan konsumsi tetapi tabungannya ,sehingga ekspansif.
Dalam formula,T Haavelmo mengatakan kalau perilaku konsumen digambarkan dengan C = Co + c.Y - T ,sifat dari Anggaran Belanja Negara (APBN) yang meningkat dan seimbang memang netral. Tetapi dia berpendapat bahwa perilaku konsumen harus digambarkan sebagai C = Co + c. (Y – T ) . (Y – T ) ditempatkan dalam kurung ,yang berarti bahwa konsumsi yang konstan didasarkan atas pendapatan yang sudah dipotong pajak.
Mengenai relevan atau tidaknya pendapat yang dikemukakan T Haavelmo untuk konsumen Indonesia ,masih menjadi pertanyaan ,sehingga tidak jelas apakah benar bahwa anggaran yang membengkak dan seimbang masih bersifat ekspansif.
Seharusnya para anggota DPR memperhatikan faktor-faktor tersebut diatas dalam mendiskusikan RAPBN 1999/2000 dalam fungsinya sebagai instrumen pengendalian ekonomi makro.
Penutup
Jadi apabila permasalahan seperti ini di bolak balik seperti apapun tetap saja yang di saksikan dari krisis sampai sekarang tampaknya teori yang mengatakan bahwa kita tidak dapat berbuat banyak ,kecuali menunggu sampai keseimbangan tercapai pada titik terenda,benar. Namun para ekonom masih terus berusaha memerah otak untuk mencari solusi yang terbaik dan lebih cepat.
Masalah tentang realistis atau tidaknya RAPBN sangat sulit di prediksi ,dikarenakan sulitnya memprediksi gejala ekonomi yang menyebabkan alokasi pro rakyat atau tidak.
Sumber : KWIK KIAN GIE
Ekonomi Indonesia dalam Krisis dan Transisi Politik
Disusun oleh : Dewi Septianawati
NPM/Kelas : 21210913 / 1EB11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar