Senin, 26 Maret 2012

Rencana Kenaikkan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam Hubungannya Dengan Kebijakan Ekonomi dan Hukum


          Di dalam fenomena persaingan usaha nasional,terutama di era globalisasi ini tidak dapat dipungkiri terdapat issue kondisi struktural ekonomi, issue prilaku pro-persaingan atau anti-persaingan dari para pelaku usaha nasional, serta issue kebijakan persaingan usaha  nasional.
          Adapun issue yang menjadi sorotan pertama adalah perspektif ekonomi sangatlah menonjol. Selain itu issue yang kedua perspektif ekonomi terkait dengan masalah motif ekonomi dari prilaku tersebut dan perspektif hukum akan membahas ada atau tidaknya aturan (code of conduct) yang mengikat, sedangkan issue yang ketiga, sangat menonjol perspektif hukumnya.
          Oleh karena itu, dalam pembahasan issue persaingan usaha pastinya akan terdapat perspektif ekonomi dan perspektif hukumnya.
          Dalam paper ini akan dibahas secara singkat  mengenai issue terbaru tentang ekonomi/bisnis yang berkaitan dengan hukum di dalam sistem hukum nasional Indonesia. Hal ini ditujukan agar dapat mengidentifikasi posisi hukum persaingan usaha di dalam pembidangan hukum nasional sehingga pembaca tidak terperangkap pada paradigma pembidangan hukum yang telah usang.
          Kemudian akan membahas secara umum mengenai eksistensi dan issue seputar Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disingkat “UU No. 5 / 1999”) yang sampai saat ini dianggap sebagai hukum payung dan paling komprehensif yang mengatur issue persaingan usaha di Indonesia.
          Salah satu permasalahan yang akan dibahas dalam paper ini yaitu mengenai Rencana Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam hubungannya dengan Kebijakan Ekonomi dan Tuntutan Kesejahteraan Rakyat.
          Dalam issue permasalahan ini yang diangkat adalah kenaikan harga bahan bakar minyak menjadi momok yang menakutkan khususnya bagi masyarakat kecil.
          Tidak hanya itu kalangan hakim pun merasa ketar-ketir menghadapi kebijakan tersebut apalagi bila pemerintah tak kunjung memperhatikan tuntutan kesejahteraan yang selama ini disuarakan para hakim.
Masalah Pokok
          Belakangan ini ketidakstabilan sosial sedang terjadi pada masyarakat Indonesia. Salah satu penyebab utamanya rencana pemerintah yang akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak  dan Tarif Dasar Listrik secara bertahap.
          Masyarakat semakin resah dengan keputusan tersebut. Unjuk rasa dan protes dari berbagai kalangan masyarakat terus bergulir diberbagai wilayah di Tanah Air. Disini pihak yang paling menderita dengan kenaikan harga BBM adalah rakyat kecil,karena kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup akan semakin sulit.
          Disisi lain protes atas kenaikkan harga BBM dilakukan oleh kalangan pengusaha dan industri. Hal ini mengingat dampaknya akan merambah pada kenaikkan biaya produksi,biaya angkutan hingga harga saham dan memberi efek negatif pada laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Seharusnya kebijakan yang pemerintah hasilkan menciptakan kualitas kehidupan yang baik bagi rakyatnya. Jika kebijakan ini tetap akan dijalankan maka bukan kualitas hidup baik yang rakyat rasakan, namun belitan ekonomi yang mencekik yang akan dirasakan.
          Pada dasarnya kenaikan harga BBm merupakan kesalahan pemerintah dan Badan Anggota DPR yang tidak mampu  memprediksi harga minyak dunia yang ditetapkan pemerintah lebih rendah dari harga sebenarnya. Dampaknya dengan alasan defisit Anggaran pemerintah memilih menaikkan harga BBM untuk menutupi kekurangan tersebut.
          Kenaikkan harga BBM memiliki dampak sistemik diberbagai sektor yang luas bagi stabilitas negara. Beberapa perspektif diantaranya Perspektif Hukum Tata Negara dan Perspektif Ekonomi.
  1. Perspektif Hukum Tata Negara
          Berdasarkan perspektif hukum tata negara,kenaikan harga BBM merupakan kebijakan inskonstitusional. Hal ini dapat dilihat dari UU APBN Nomor 22 tahun 2011 tentang APBN tahun 2012 pada pasal 7 ayat 6 yang berbunyi bahwa harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan.
          Pasal ini menjadi penjebak bahwa seolah-olah pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM,padahal pasal dalam UU ini tidak pernah dibahas apalagi disetujui Komisi VII DPR RI. Disisi lain maksud pengendalian yang dimaksud dalam UU tersebut sebagai suatu single solution,yaitu pembatasan BBM bersubsidi.
          Jika merujuk pada amanat pasal 33 UUD 1945 ayat 3 yang berbunyi ”Bumi dan Air dan Kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”, BBM seharusnya dapat dinikmati oleh masyarakat dengan harga terjangkau dan merata bukan dengan harga yang tinggi.
  1. Perspektif Ekonomi
     Dari sudut pandang ekonomi kenaikkan BBM merupakan keputusan yang tidak tepat. Jika melihat APBN tahun 2010 sampai dengan APBN 2012 maka akan terlihat bahwa pemerintah akan mengarahkan pos subsidi APBN akan berkurang hingga mencapai lebih dari 3% dari 17,96% pada tahun 2011 hanya 14,72% pada tahun 2012.
     Penurunan jumlah subsidi terhadap BBM ,termasuk energi menyumbang penurunan nilai sebesar 94,28% pada APBN. Ironisnya hal ini berkebalikan dengan kenaikan anggaran belanja pegawai.
     Tidak cukup sampai disini masalah pun muncul dari oknum-oknum yang yang memanfaatkan situasi kenaikkan harga BBM dengan menimbun BBM sebanyak-banyaknya untuk meraup banyak keuntungan.
     Cara pandangnya dapat diperhitungkan secara sederhana, akankah tega mengakali kawan sendiri sesama bangsa ini, yang sama-sama sengsara, senasib, demi keuntungan kocek pribadi. Tentu menjadi pertanyaan, ketika sebagian besar elemen bangsa ini menolak kenaikan harga BBM, sebagian rakyat spekulan dan penimbun BBM ini justru menari-nari atas kenaikan harga BBM.
Akibat dari Kenaikan Harga BBM Merugikan Semua Pihak
     Perilaku rush yang terjadi pada setiap rencana kenaikan harga BBM sebetulnya berulang-ulang terjadi di negeri ini. Di Jawa yang memiliki infrastruktur distribusi BBM lebih baik juga mengalami itu. Kondisi ini sungguh menyakitkan rakyat karena menghambat pergerakan ekonomi atau keadaan emergency lainnya.
     Tidak bisa membayangkan bagaimana pasokan BBM luar Jawa yang mengandalkan transportasi kapal tongkang BBM. Risikonya menjadi berlipat dan akhirnya kepastian pasokan BBM tidak menentu.
Kini ketika harga BBM akan dinaikkan, rakyat pun merespons dengan tidak arif. Sebagian BBM kita tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan di Jawa, namun ada sekitar 20 ribu pulau yang harus mendapat BBM kendati tidak rata.
     Ketika BBM selalu saja habis di SPBU karena meningkatnya ulah spekulan dan penimbun, pada saat yang bersamaan, hak untuk masyarakat di luar Jawa akan semakin panjang antrenya untuk mendapatkan hanya seliter BBM.
Pasal-Pasal Hukuman
     Jika imbauan moral sudah tidak bisa dilakukan, tidak ada jalan lain bahwa pihak berwajib harus tegas mengambil tindakan hukum. Polisi sebetulnya dibekali Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1953 tentang Penetapan UU Darurat tentang Penimbunan Barang. Undang-undang itu adalah pengembangan UU Darurat Nomor 17/1951 untuk merespons kondisi rush periode itu. Pada pasal 5, hukuman bagi pelanggar atau penimbun sekurang-kurangnya enam tahun penjara dan objek hukumnya disita untuk negara (pasal 6).
     Pada UU Migas Nomor 22/2001, ketentuan pidana bagi pelanggar juga ada dalam pasal 53. Setiap orang yang kedapatan melakukan penyimpanan BBM tanpa izin usaha penyimpanan, maka pidana penjara tiga tahun penjara dan denda maksimal Rp 30 miliar. Ada dua hukuman sekaligus, yakni pidana kurungan (penjara) dan denda.
     Pihak SPBU pun memiliki risiko hukum sama beratnya jika melayani pembelian BBM untuk tujuan penimbunan atau spekulasi. Pasal 55 UU Migas menyebutkan bahwa pihak yang menyalahgunakan pengangkutan atau niaga BBM yang disubsidi negara potensial berhadapan dengan pidana penjara enam tahun dan denda maksimal Rp 60 miliar.
Sumber: